Suara terompet meraung - raung ricuh dengan suara teriakan hiruk pikuk gelombang manusia di jalanan, motor - motor berkeliaran tanpa memperdulikan fungsi lampu sen yang tersedia, seakan - akan hanya Tuhan dan pengendara nya saja yang tahu kapan akan belok kanan dan kapan akan belok kiri. Pesta akhir tahun kali ini di Jogjakarta di sambut dengan guyuran air hujan, tapi tetap tidak menyurutkan euforia jutaan manusia untuk menghadiahi hari baru dengan jalan - jalan malam, di iringi dengan senyuman, teriakan, suara terompet, kembang api bahkan di beberapa tempat di adakan acara yang lebih religi seperti pengajian.
Pada tahun ini saya diminta untuk terlibat mensukseskan program acara di salah satu perusahaan BUMN, ada hal yang sangat menarik saat semalem ikut di acara tersebut. Acara di awali dengan mengaji Al - Quran surat Ar - Rahman yang di lantunkan oleh adek - adek dari Panti Asuhan Putra Muhammadiyah setelah itu dilanjutkan dengan pengajian oleh seorang ustadz yang lebih dikenal dengan sebutan Kang Wahid, beliau adalah dosen di UIN Yogyakarta.
Aneh tapi nyata dan benar - benar terjadi, di rundown acara pengajian diberikan waktu sekitar 60 menit atau satu jam, dalam pelaksanaan nya tadi malem baru menginjak di menit ke 30 MC sudah memotong isi dakwah dari sang Mubaligh yang kemudian dilanjutkan dengan acara berikutnya sesuai run down yang sudah di tentukan. Yang menjadi bahan pemikiran saya adalah, kenapa acara pengajian tersebut perlu dipotong? apakah isi nya tidak sesuai atau terlalu keras? menurut saya tidak bahkan cenderung soft layaknya ustadz muhammadiyah yang moderat. Apakah terlalu monoton? menurut saya tidak, bahkan saya melihat para audiens mendengarkan dengan seksama bahkan kawan chinese yang notabene nasrani penuh perhatian lebih mendengarkan setiap kata dan lantunan al Quran yang di bacakan Ustadz.
Sampai saat ini pun saya belum bisa menemukan jawaban nya yang pasti, hal yang menjadi perhatian saya saat tadi malam adalah ternyata kekuatan untuk mendengarkan ilmu - ilmu ayat - ayat suci Al - Quran memerlukan kekuatan yang lebih, berbeda jika kita mendengarkan lagu senang nya bukan kepalang, pertanyaan yang muncul di benak saya adalah
1. Apakah metode nya yang perlu diperbaiki untuk men tabligh kan ilmu - ilmu agama?
2. Ataukah tidak adanya kesiapan dan ketakutan dari para pendengar untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki karena ketakutan untuk meninggalkan yang selama ini keliru?
3. Ataukah pendakwah itu harus selalu membuat tertawa audiens selama proses pengajian berlangsung? jika seperti ini yang membekas di hati apakah kebenaran ataukah hanya senda gurau?
Semoga Allah selalu memberikan kemudahan bagi kita untuk selalu istiqamah berada di jalur ridha Nya, Amiiiiin.
Wallahu'alam bish shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar